Cerpen siapakah pelakunya
Bukan Aku Pelakunya!
Oleh Igen Yustiardi Putri (1X-J)
Sebuah kamera menyorot diriku yang sedang menjawab pertanyaan dari orang yang di depanku ini. Ruangan putih ini memuakkan, aku bisa gila jika harus bertahan di sini untuk waktu yang lama.
“Apakah kamu tahu apa kata terakhir Alm. Keysha saat bersamamu?” tanya seorang yang di depanku.
“Kita hanya bermain bersama, sampai pukul 19.00, setelah itu kami kembali ke rumah masing-masing,” ujarku dengan jujur.
Aku menatapnya, dia seorang wanita yang mungkin berumur 25 tahun, dengan rambut panjang yang dikuncir, kacamata yang bertengger, dan sebuah notebook di tangannya. Ah, siapapun tolong keluarkan aku dari sini, aku sudah muak. Bukan aku pelakunya. Tapi dia, orang sialan itu yang membunuh Keysha, bukan aku. Jadi siapapun tolong aku….
***
Pukul 07.00 aku berlari menuju ke sekolah karena terlambat. Tidak ada alasan khusus kenapa aku terlambat, aku hanya bangun kesiangan karena tiba-tiba mendengar suara bisikan aneh yang terus berputar di kepalaku.
Dan sesuai ekspektasi kalian aku ketahuan mengendap-ngendap masuk ke sekolah, dan akhirnya aku dihukum untuk hormat ke tiang bendera sampai jam istirahat pertama. Kenapa aku harus terlambat, di sini sangat panas…, batinku sambil berusaha menutupi wajahku dengan tangan.
KRINGGG!! KRINGG!!
Akhirnya selesai juga, batinku lega. Dengan cepat aku mengambil tas ranselku dan segera menuju ke kelas. Saat aku sampai di kelas, hanya terlihat satu orang yang sedang menangkupkan dirinya. Dia adalah Keysha—temanku dari awal masuk sekolah ini.
“Hai Keysha, kamu ngantuk?” ujarku dengan senyum yang terpasang di wajahku. Keysha mendongak, bagian bawah matanya agak menggelap, tubuhnya lebih kurus daripada biasanya. Aku sudah bertanya kenapa dia bisa begini, tapi dia hanya menjawabnya dengan senyum.
“Kamu kelihatannya makin kurus, kalau ada masalah kamu bisa cerita ke aku. Rumahku terbuka 24/7 untukmu.” Aku berkata seperti itu sambil melebarkan tanganku—tanda bahwa dia boleh memelukku.
Keysha mencodongkan badannya, maju dan memelukku. Aku kaget, jantungku berdetak kencang, tidak pernah Keysha seperti ini, pasti ada suatu masalah yang dia sembunyikan. “Key, are you okay?” tanyaku dengan hati-hati. Dan Keysha hanya mengangguk sebagai jawabannya.
Adegan berpelukan kami terputus karena kedatangan dua manusia bodoh. “Subhanallah, kalian habis ngapain?” ujar Teo dengan wajah sok kagetnya itu. “Goblok, Astagfirullah yang bener,” ujar Roxy sambil menonyor kepala Teo yang sok polos itu.
“Key, kamu beneran ga pa-pa? Tubuhmu tambah kurus, kamu juga kelihatan capek banget. Mau ke UKS?” tanya Roxy sambil memandang khawatir ke Keysha. Teo juga mendekat sambil memberikan bungkusan makanan.
Keysha tersenyum. “Aku baik-baik saja kok, aku cuma ke-“ ujarnya terpotong karena dia tiba-tiba menutup mulutnya sambil memegang perutnya. Dengan cepat dia langsung berlari keluar.
Aku, Roxy, dan Teo otomatis langsung mengejarnya. Aneh, Keysha pasti tidak baik-baik saja, tapi apa masalahnya? Kenapa? Apa penyebabnya?
***
Aku berlari menuju kamar mandi, sambil menutup mulutku—agar aku tidak muntah di depan semuanya. Mereka pasti khawatir melihat diriku yang menyedihkan ini.
Aku mengeluarkan semuanya di kamar mandi, napasku terengah-engah, kepalaku pusing. “Maafkan aku nak, aku adalah ibu yang tidak lemah. Tapi aku akan tetap berusaha melahirkanmu ke dunia,” ujarku sambil mengelus-elus perutku yang di dalamnya terdapat janin. Ya, janin.
Aku adalah sebuah siswi yang di perkosa oleh seseorang, dan sekarang aku hamil. Perutku sudah mulai membesar, tapi aku berhasil menutupinya dengan jaketku. Aku juga takut teman-temanku mengetahuinya, walaupun kelihatannya Gea sudah tahu.
Saat pertama kali mengetahui bahwa aku hamil, aku marah, dan langsung menghubungi orang itu. Bukannya tanggung jawab, orang itu malah menyuruhku untuk menggugurkannya. Dasar bajingan, dia bahkan tidak merasa bersalah sama sekali.
Aku ingin mati, tapi aku tidak mau anakku ikut mati, aku hanya ingin diriku saja yang mati. Aku hanya ingin diriku saja yang jatuh ke dalam kegelapan itu.
***
Keysha keluar dari kamar mandi dengan cengengesan, dia bilang bahwa dirinya tidak apa-apa, tapi itu sebuah kebohongan. Seharusnya, aku bertindak membantunya sejak awal, seharusnya begitu.
Setelah istirahat ada pelajaran olahraga, aku menyuruh Keysha untuk tidak mengikuti pelajaran ini, tapi dia memaksa ingin mengikutinya. Dan anehnya, matanya menyiratkan rasa ketakutan. Aku ingin bertanya kenapa Keysha seperti ketakutan, tapi pada akhirnya aku tidak bertanya.
Aku berusaha ber-positive thinking dan mengajaknya segera ke lapangan. Roxy dan Teo sudah menunggu di sana, dan kita tidak tahu, bahwa hari ini hari terakhir kita bisa berkumpul bersama Keysha.
***
Selama pelajaran olahraga, Keysha selalu menundukkan kepalanya, bahkan dia tidak berani menatapku. Tangannya gemetar, dia seperti ingin menangis. Aku menggenggam tangannya, walaupun tidak tahu apa yang terjadi, setidaknya itu bisa menenangkannya.
Pelajaran olahraga selesai, kita pergi ke kantin bersama untuk membeli makanan. Dan, saat itu kita bertemu dengan Pak Dani—guru olahraga. “Halo pak,” sapa Roxy dengan sedikit menunduk.
Pak Dani hanya menundukkan kepalanya dan tersenyum. Keysha sedikit mendongak menatap Pak Dani, tapi Keysha langsung membuang mukanya tanpa menyapa Pak Dani.
Setelah kita sampai di kelas, aku ingin menanyakan tentang Pak Dani kepada Keysha. Tapi, kenapa, mulutku serasa terkunci, suaraku terasa tidak mau keluar. “Key, kenapa lo tadi ga nyapa Pak Dani? Padahal dia ganteng lo, masih muda lagi. Terus gue denger-denger dia single lho, brarti masih bisa ya ga ya,” ujar Teo tanpa henti.
“Inget, lo cowok goblok, lain kali di pikir pakai otak. Dan lagipula ga semua cewek suka sama Pak Dani kan, Keysha seleranya lebih tinggi kali, ga kayak lo.” Roxy membalas ucapan Teo. Keysha hanya membalasnya dengan senyuman.
Aku menatapnya dengan tatapan khawatir. “Lo beneran ga pa-pa kan, Key? Lo tadi kelihatan ketakutan,” ujarku memastikan.
Wajah Keysha terlihat kaget, tapi dengan cepat di menutupinya. “Hahaha, gue ga pa-pa kok. Perasaan lo aja kali Gea.” Ya, namaku adalah Gea. Aku menatapnya dengan khawatir, tapi aku tidak berbuat apapun. Dan itu, adalah kesalahan terbesarku.
***
Bel sekolah berbunyi—menandakan siswa boleh pulang. Aku dan Keysha segera merapikan buku dan keluar dari kelas, dan entah kenapa aku kepikiran untuk mengajak Keysha bermain sebentar. Padahal kalau aku tidak mengajaknya, Keysha tidak akan mati.
“Key, ayo main sebentar,” ajakku, ya mungkin tujuanku sebenarnya agar Keysha tidak terlalu terpuruk. Keysha tersenyum. “Em, lain kali aja gimana. Hari ini aku ada acara.” Keysha menolak dengan halus.
“Ayolah, jarang-jarang kita bisa main. Apalagi sekarang kita sudah kelas 3, habis ini kita bakalan sibuk banget. Ya, ayo ya,” paksakku kepada Keysha. Gea akhirnya mengangguk dan tersenyum.
Kami pun bermain sebentar, tanpa mengetahui ini terakhir kalinya kita bermain.
***
Pukul 19.00 kita selesai bermain, kita pulang terlalu larut karena keasikan bermain. “Hari ini sangat menyenangkan, terima kasih sudah menemaniku bermain, Key.” Aku berkata seperti itu.
Aku berniat mengantarkan Keysha ke rumahnya, tapi dia menolaknya. Dia bilang cukup antarkan sampai ke halte bus, dan aku mengangguk sebagai jawabannya. Selama perjalanan kami hanya diam.
Tatapan Keysha kosong, tapi kekosongan ini malah membuatnya jadi makin indah. Tapi sedetik kemudian, aku melihat darah mengalir dari kepalanya. Aku langsung mengusap kepalanya. Keysha terlihat bingung, tapi tatapannya masih kosong.
“Kenapa? Apa ada yang aneh di kepalaku?” tanya Keysha kebingungan. “Ada darah di kepalamu…,” ujarku dengan mata terbelalak. Keysha tertawa “Hanya khayalanmu mungkin, aku tidak merasakan sakit apapun kok,” balasnya.
Darahnya menghilang. “Mungkin ini memang halusinasiku,” ujarku sambil menenangkan diriku sendiri.
Aku dan Keysha pun akhirnya sampai di halte bus. Dan kebetulan bus yang menuju rumah Keysha sudah sampai, jadi aku segera lari menuju ke rumah. Sebentar, kenapa aku harus lari?
***
Kembali ke ruangan putih, aku sedang mewawancarai salah satu pelaku yang paling aneh. Walaupun dengan metode apapun, pelaku ini tidak pernah mengakui kesalahannya.
“Apakah kamu masih belum ingin mengakui perbuatanmu?” tanyaku kepada Gea—nama pelaku pembunuhan ini.
“BUKAN AKU PEMBUNUHNYA, MANA MUNGKIN AKU MEMBUNUH TEMANKU SENDIRI!!” ujarnya membela dirinya sendiri. “Kalau begitu kenapa pada saat itu tanganmu bersimbah darah?”
Dia terdiam. “Aku… aku juga tidak tahu apa yang terjadi, saat aku berlari aku sudah melihat tanganku bersimbah darah. TAPI BUKAN AKU PEMBUNUHNYA!!”
“Kalau begitu, siapa pembunuhnya?” tanyaku mencoba melihat dari sudut pandangnya. “Pak Dani, aku yakin orang itu yang membunuh Key,” ujarnya dengan yakin. Aku memiringkan kepalaku, “Kenapa dengan Pak Dani?”
“Kamu bilang kan, kalau Keysha itu sedang mengandung. Aku yakin Pak Dani lah yang membuatnya hamil.” Gea berkata seperti itu.
“Baik, akan kami simpan pernyataan itu. Tapi, bisa kamu jelaskan kenapa kamu membunuh Alm. Keysha?” tanyaku membuat orang di depanku marah.
“AKU TIDAK MEMBUNUHNYA!!” elak Gea sambil berteriak marah kepadaku. Aku menghembuskan napas. “Baik, kalau begitu aku akan jelaskan keadaanmu.”
“Kamu mengidap penyakit skizofrenia, dimana kamu berhalusinasi bahwa kamu sedang bermain dengannya, padahal kamu sedang membunuh Alm. Keysha. Hal ini membuktikan kenapa tanganmu bersimbah darah.” Ujarku menyadarkannya.
“Bukan Pak Dani lah yang membunuh Alm. Keysha, tapi kamu sendiri yang membunuhnya. Aku tidak tahu perasaan apa yang bisa membuatmu seperti itu, tapi kamu sudah melakukan sebuah kejahatan. Bahkan kamu sudah membunuh janin yang Alm. Keysha sudah jaga dengan baik-baik.”
Gea lemas terduduk. Tidak mungkin, apa maksudnya ini? Tidak mungkin ini semua terjadi. Kenapa? Kenapa harus aku yang membunuhnya. Ah, iya juga. Aku teringat, Key sangat cantik dengan darah yang mengalir dan mata kosongnya. Itu adalah kecantikan yang tidak pernah bisa ditandingi.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar